This is an automated archive made by the Lemmit Bot.
The original was posted on /r/indonesia by /u/Eli-S-Li-14 on 2025-09-01 03:28:17+00:00.
Saat gw denger ada anggota DPR di sebuah talkshow (gw lupa acaranya apa) bilang bahwa orang yang menyamakan DPR dengan "rakyat jelata" itu cacat logika, jujur… gw ngakak banget. Komentar itu menurut gw bukan cuma sombong, tapi juga nunjukkin betapa dangkal cara mereka memahami konsep "elit". Sebagai orang yang lagi belajar filsafat dan sejarah, gw malah ngeliat justru logika mereka yang cacat.
Tau nggak sih, asal mula orang “elit” itu menurut gw sebenarnya sederhana banget. Balik ke zaman purba, manusia masih hidup dari berburu dan ngumpulin makanan. Berburu itu kan capek, penuh risiko, dan kalau salah langkah bisa mati. Belum lagi soal makanan dari tanaman — kita dulu nggak tahu mana yang aman dimakan, mana yang bikin keracunan. Nah, di situ manusia udah hidup berkelompok. Dan dalam tiap kelompok, pasti ada aja orang yang lebih jago: entah karena niat, insting, atau emang lebih pinter. Mereka bisa berburu mamut lebih efektif, atau lebih lihai milih makanan yang nggak bikin sakit.
Nah, dari situ orang-orang di sekelilingnya mikir: “Hmm… kalau gw ikut dia, pasti hidup gw lebih aman dan nggak kelaparan!” Jadi mereka pun nurut buat ikut berburu bareng si jagoan tadi. Fast forward ke zaman ketika manusia udah mulai bercocok tanam, bikin rumah, dan menetap, peran “elit” makin gede lagi. Orang-orang lebih milih tinggal deket orang yang bisa nanam padi lebih bagus, lebih cepat, atau bisa bikin rumah lebih kokoh. Ngapain susah payah kalau ada orang yang memang jago di situ? Tugas kita cuma ikut bantu, bayar “pajak” atau kontribusi seadanya, dan kita dapat jaminan hidup lebih gampang.
Jadi menurut gw, elit itu bukan soal privilese, tapi justru soal siapa yang nanggung beban — setidaknya, “seharusnya” begitu. Kenapa gw bilang gitu? Coba pikir kayak hubungan kucing sama manusia. Tau nggak sih, kucing itu sebenarnya jarang ngeong ke sesama kucing. Mereka cuma meong-meong ke manusia. Kenapa? Karena mereka tahu kalau ngeong, manusia bakal kasih makan, dielus-elus, atau dirawat. Jadi sebenarnya kucing lah yang “ngelatih” kita buat ngurus mereka. Kita sendiri yang akhirnya milih buat melihara, karena ada timbal balik yang jelas.
Nah, masalahnya DPR ini sama sekali nggak ngasih timbal balik yang jelas ke rakyat. Dan tau nggak apa yang terjadi kalau manusia nggak ngerawat kucing? Ya kucingnya bisa kabur, atau terus-terusan ngeong sampai manusia terganggu. Kalau malah disakiti di kondisi kayak gitu… siap-siap dicakar. Jangan remehkan kucing — meskipun kecil, mereka lincah, bisa masuk ke tempat yang manusia nggak bisa, dan kukunya tetap tajam walaupun digunting. Sama juga rakyat. Jadi waktu gw denger anggota DPR nyebut rakyat yang nyamain diri mereka itu “tolol” atau “cacat logika”, gw cuma bisa mikir: gimana nggak #kaburajadulu dan demo besar-besaran? Ini bukan soal ideologi. Uni Soviet aja tumbang, padahal itu negara paling represif di masanya. Kenapa? Karena rakyatnya ngeliat ada secuil harapan, sekecil butir beras, dan langsung digenggam erat sampai rezimnya runtuh.
Jadi ya… gitu lah. Jujur, gw udah lama nggak aktif di Reddit karena sibuk ngadepin depresi sendiri, dan tiap lihat berita malah makin bikin gw kehilangan harapan sama bumi ini. Gw cuma pengen ngeluarin isi kepala gw sekarang aja. Kadang gw mikir, yang mereka bilang “Indonesia Emas 2045” itu malah lebih kayak foreshadow kalau 2045 nanti kita bakal ngusir boomer-boomer out of touch dari kursi kuasa, ketimbang beneran nikmatin surplus demografi atau apalah itu. Kalau ada yang salah dari apa yang gw omongin… yaudah lah.
TL;DR:
DPR salah kaprah soal “elit”. Dari sejarahnya, elit itu muncul karena mereka bawa manfaat buat kelompok, bukan karena mereka lebih tinggi derajatnya. Hubungan rakyat & elit itu kayak kucing sama manusia: kalau dirawat, mereka tenang; kalau diabaikan, mereka bisa kabur atau nyakar. Jadi kalau DPR terus ngegas naik tunjangan dan ngerendahin rakyat, jangan heran kalau rakyat pada akhirnya melawan.